Info Terbaru 2022

Mimpi Atau..............

Mimpi Atau..............
Mimpi Atau..............

oleh : MARIA E V LAURIKA L S

Siang hari yang gerah. Jalanan yang sudah padat, menjadi semakin padat lagi kadab waktunya para pegawai kantoran dan pelajar pulang sehabis menunaikan tugasnya.

Di sebuah gang terpencil, di salah satu sudut kota, keramaian kota semakin menjadi-jadi. Banyak polisi berkeliaran di sekitar gang tersebut, berusaha menghalau kerumunan massa yang semakin membeludak sebab ingin mengetahui insiden apa yang telah terjadi. Udara semakin pengap.

“Ada apa sih?” Seorang gadis menjulurkan kepalanya dari dalam bis kota. Wajahnya yang cantik menyiratkan suatu keingintahuan yang besar. Matanya melirik ke arah penumpang lainnya. Sayang, hasilnya nihil.

Bibirnya mulai tersenyum kadab ada penumpang yang naik dari sekitar gang tersebut. Dengan cepat diburunya penumpang tersebut.

“Permisi Pak, ada apa ya... di gang itu? Kok rame banget?” tanyanya sehabis sekian kali tergencet oleh penumpang lain.

“Yang saya dengar sih, ada jenazah yang ditemukan disana. Kalau nggak salah anak cewek,.”

Gadis itu terdiam, merasa suatu firasat melintas di hatinya, firasat ihwal sobat yang amat dirinduinya.

***

Gelap...

Kugosok mataku kuat-kuat. Uhk...gelap banget! Nah... risikonya kelihatan juga. Kukerjapkan mataku berkali-kali. Setelah berhasil melihat, saya galau sendiri.

Ini dimana ya? Perasaan tadi saya hanya berjalan tanpa arah, tiba-tiba kok gelap kayak gini? Tunggu dulu, tampaknya saya kenal daerah ini. Kulangkahkan kakiku dengan mantap, kutolehkan kepalaku kekiri dan kanan. Tempatnya sempit, ibarat sebuah gang kecil di pinggir kota.

O... yeah, saya kenal daerah ini. Hampir tiap hari saya melewatinya, yah... berkunjung ke rumah sahabatku. Ludang keringh tepatnya mantan sahabatku.

Mantan... saya jadi teringat kadab kami bertengkar hari itu. Hanya problem sepele memang, tapi ternyata kami bertengkar hingga sebesar ini kan? Masalah prinsip, itu alasannya.

Huh, sudahlah. Tapi... saya berada disini sebab saya bimbang kan? Jujur saja, saya rindu padanya. Amat sangat rindu. Aku kangen pada suaranya, tingkah lakunya, bahkan pada nasihatnya yang menurutku amat mengganggu. Tapi kenapa kami ibarat saling membenci hanya sebab hal yang sepele??

Jadi disinilah aku, dalam kudang keringmbangan yang sama sepelenya. Aku ingin sekali minta maaf padanya. Tapi... saya malu. Harga diriku terlalu tinggi.

Hiks... hiks... bunyi tangisan mengiringi tarikan pelan di ujung bajuku. Sontak saya menoleh ke bawah.

“Eh...,” saya tercengang. Sambil menarik bajuku, seorang anak kecil menangis, air matanya berjatuhan kemana-mana. “Lapar...,” lirih anak itu pelan, tangannya mengelus perutnya sendiri.

Dan risikonya disinilah aku, duduk di depan sebuah mini market, sambil memandang anak tadi makan. Lumayan.... pahala walau rugi 2000. “Nama kau siapa?”
selidikku pelan. “Mia,” sengaunya dengan ekspresi penuh roti. “Rumah kau dimana?” Matanya yang lingkaran memandang ragu padaku, “Nggak ada,” Waduh nih anak! Aku apes benar hari ini. Boro-boro sanggup uang di jalan, ini malah sanggup anak di jalan! Mendingan nanti saya tinggalin aja beliau di depan kantor polisi, daripada panjang kisah lagi.

“Udah, habisin dulu rotinya. Nanti saya antarin pulang,”sahutku. Anehnya, anak itu malah tertawa, “Kakak ini bagaimana sih? Aku kan udah bilang kalo nggak punya rumah,” Grrrrr, nih anak! “Orangtua kau mana?” Anak itu mengusap mulutnya pelan, “Nggak tau,” jawabannya tenang. Huh......

“Makannya udah selesai kan? Ayo kita jalan, kita ke kantor polisi. Kita cari orangtuamu,” sahutku sambil berdiri. Anak itu menggelengkan kepalanya, “Nggak mau,” Tuh kan, problem lagi! “Aku boleh nginap daerah abang nggak? Satu malam aja,”

Huh....nyusahin aja. Aku sudah ingin berkata tidak. Namun melihat matanya yang besar dan jernih itu, tanpa memperdulikan bahwa saya gres saja bertemu dengannya, tidak tahu asal-usulnya, atau apapun ihwal dia, saya berkata “Iya,”

Untung saja orangtuaku sedang pergi ke luar kota, jadi anak itu sanggup tidur di rumahku tanpa harus diintrogasi oleh keduanya. Kusuruh anak itu mandi, kucarikan pakaian pantas untuknya.

“Siapa yang disebelah abang itu?” sahut anak itu sambil menunjuk fotoku dan sahabatku yang ada di meja belajar. Rupanya beliau sudah selesai mandi, “Sahabatku. Nih pakai!” sahutku ketus sambil menyodorkan pakaian arahnya.

“Kakak kelahi ama beliau ya?” ungkapnya polos. Aku menatap heran padanya, kok anak ini sanggup tahu? “Nggak, cuma ada problem sedikit, emang kenapa?”

“Dulu sebelum Ibu mati, Ayah marahan sama Ibu. Ibu kemudian pergi keluar, dan satu hari itu Ibu nggak pulang ke rumah. Ayah cemas, nanya ama tetangga, nggak ada yang tau. Rupanya Ibu kena tabrak. Ayah jadi kayak orang gila, terus-terusan teriak maaf, maaf, maaf,” celotehnya panjang lebar.

Aku tertegun mendengarnya. Aku teringat saya belum pernah minta maaf semenjak seminggu terakhir saya bertengkar dengannya. Aku merenungi kembali, problem apa sih kami perdebatkan, cuma problem sepele. Tapi kenapa sukar bagiku untuk hanya sekedar berkata, “Maaf.”?

“Udah malam,”sahutku sambil memotong celotehan anak itu. “Sana kau tidur di kasurku.” Anak itu mematuhinya. Dia segera beranjak ke atas daerah tidur dan segera terlelap. Aku sendiri tidur di lantai kamarku dengan asa, agar sahabatku memaafkan saya kadab saya minta maaf keesokan harinya.

Kadab saya terbangun keesokan harinya, anak itu menghilang dari atas daerah tidurku dan tidak ada dimanapun di sudut rumahku.

***

“Nak, kau kenapa?” Bapak itu berusaha menegur gadis yang tadi bertanya kepadanya. Gadis itu tertegun sesaat, kemudian ibarat kesetrum, beliau segera berteriak, “Berhenti!!”

Dengan tergesa-gesa, gadis itu pribadi melangkahi tangga bis kota. Dengan berlari, beliau kembali ke gang tersebut, dan di sana beliau bertemu dengan sahabatnya, dan dengan luapan kegembiraan, dipeluknya sahabatnya itu. Sahabatnya pribadi berteriak kaget.

“Woaa... satu ahad kita bertengkar, kau jadi makin bergairah ya?” canda sahabatnya. “Jangan bercanda! Aku kira kau yang mati di dalam sana!” sahutnya garang tapi dengan wajah yang tersenyum.

“Jangan bodoh! Yang mati itu katanya mati kelaparan tau! Nggak mungkin kan gres seminggu kita tidak bicara, tiba-tiba hari ini kau ketemu mayatku yang tragisnya mati sebab kelaparan?!” Sahabatnya menjitak kepalanya. “Begini, saya minta maaf! Kemarin saya yang salah. Sorry ya?”

“Aku juga salah, terlalu memaksamu. Maaf juga ya...?” Gadis itu tersenyum sumringah.”Kita sama-sama minta maaf!” teriak mereka bersamaan, kemudian tertawa terbahak-bahak hingga massa disitu menoleh pada mereka.

“Ups... kalo bukan kamu, jadi siapa dong yang ninggal?” gadis itu mengeryit “Mana saya tahu. Eh tuh, mayatnya lewat. Lihat yuk.”

Mereka berdua berjalan mendekati rombongan polisi yang mengangkat jenazah itu. Tanpa sengaja, kadab akan dimasukkan ke dalam ambulans, epilog kepalanya terbuka.

Gadis tersebut keheranan melihat sahabatnya yang tiba-tiba saja pucat. “Kamu kenapa?” tanyanya. Sahabatnya hanya menggelengkan kepalanya dan menjawaban, “Aku bertemu dengan anak itu tadi malam.”
Advertisement

Iklan Sidebar