Hutan harus dijaga alasannya yakni manfaat dari hutan sangatlah banyak bagi kehidupan mahluk hidup terutama manusia. Namun apakah ada perjuangan insan untuk menjaganya?
Manusia semenjak dari zaman lampau sudah menjaga daerah yang dimilikinya terutama hutan disekitar tempat hidup mereka. Berbagai macam cara dan media untuk menjaga daerah mereka baik melalui aturan, pengetahuan tacit serta melaui hal yang mereka tidak sadari. Cara yang timbul didalam masayarakat sanggup kita sepakati itu yakni kearifan lokal hasi dari cipta, rasa dan karsa dari sebuah komunitas masyarakat yang mengakar.
Sedikit bercerita perihal sebuah kearifan lokal masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yaitu perihal masyarakat yang menjaga daerah hutan milik mereka. Dari sudut pendang yang berawal dengan sebuah ciaran bagus yang dihasil lebah dari nektar sari bunga hutan yaitu madu hutan itulah masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu menyadari betapa pentingnya hutan untuk mereka terutama bagi masyarakat di Semangit, Sekulat, Ujung Said, Penepian, Nanga Bunut dan Nanga Lauk.
Pekerjaan mencari madu hutan ini diawali pada zaman lampau kala pada dikala zaman penembahan atau sanggup dikatakan pada zaman raja-raja. Karena madu yakni masakan khsusus untuk keluarga kerajaan. Pada awalnya hanya untuk dikonsumsi namun usang kelamaan menjadi salah satu sumber untuk mendapat embel-embel rupiah.
Kegiatan mencari madu hutan ini dimulai dikala nelayan mencari lubuk-lubuk ikan dikala isu terkini kemarau di daerah hutan (PERIAU) dan menemukan sebuah pohon yang mempunyai banyak sarang lebah dengan rentang 50 sarang sampai ludang keringh dari 200 sarang lebah. Pohon yang mempunyai sarang sebanyak itu dinamakan dengan "LALAU". Untuk memanen atau orang setempat mengatakannya "PUAR" dilakukan di malam hari dengan melaksanakan pengasapan dengan akar-akar kayu (TEBAOK). Sesaat memanen harus membacakan atau melisankan beberapa mantra atau sair yang mereka namakan "TIMANG" lalau.
Tidak boleh seseorangpun diperkenankan memanen pohon Lalau selain yang orang memilikinya (Orang yang menemukan pohon lalau pertama kali) dan pakar warisnya sehingga timbulah istilah LALAU WARIS. Begitu juga Periau (Kawasan Hutan tempat mencari madu dan ikan) dilarang menebang pohon sembrono alasannya yakni akan mendapat eksekusi yang berat sesuai besarnya kerusakan dan skor dari pohon yang ditebang.
Dari pengalaman melihat lebah bersarang pada dahan pohon timbullah sebuah wangsit untuk menciptakan dahan buatan yang nanti di pasang pohon-pohon biar lebah mau bersarang. Dahan butan tersebut dinamakan "TIKUNG". Tidak tiruana pohon sanggup dijadikan tikung dan hukum usang dari msayarakat disana yakni harus menciptakan dari batang pohon yang telah mati. Pengetahuan tacit yang mereka miliki bisa menciptakan tikung dihinggapi oleh lebah dan mengakibatkan tikung sebagai media untuk menghasilkan madu hutan.
Lebah menghasilkan madu dari nektar bunga hutan yang artinya mereka harus menjaga pohon-pohon yang menghasilkan bunga yang menjadi pakan lebah. Ludang keringh dari 200 macam pohon pakan lebah dan tersebar di banyak sekali daerah hutan, sehingga menebang pohon sembrono atau merusak hutan akan mendapat eksekusi yang berat. Bukan hanya tidak mendapat madu tetapi juga tanggapan kerusakan hutan akan mempengaruhi ekosistem ikan.
Dengan mempunyai 1 tikung berkewajiban untuk menjaga minimal 2 pohon sekitar tempat pemasangan tikung. Saat ini satu orang rata-rata mempunyai 100 buah tikung, bahkan ada satu orang mempunyai 1.500 tikung. Saat memasang dan memelihara bahkan dikala menyelidiki sarang lebah, mereka melaksanakan pemantauan daerah serta menanam pohon di area yang kerapatan pohonnya kurang. Tujuan menanam pohon ini juga dimaksudkan untuk memperkaya jenih pohon pakan lebah biar kedepannya rasa madu yang dihasil ludang keringh bervariasi.
Saat ini para pemasang tikung (Petikung) atau juga disebut "Peiau" (mengikuti penamaan wilayah) bergabung menjadi sebuah asosiasi periau yang berbentuk koperasi dengan menerapkan strandar internal masing-masing yang di sebut internal control system (ICS) yang mengharuskan panen madu secara lestari yaitu melaksanakan panen tikung pada siang hari dan dikala cuaca cerah, hanya mengambil bab kepala sarang yang diberisi madu biar anak lebah sanggup hidup dan menambah koloni lebah baru, melaksanakan pengsapan dan memakai pelindung serta alat-alat yang steril.
Dengan adanya ASOSIASI PERIAU menambah kokohnya penjagaan daerah hutan di Kabupaten Kapuas hulu terutam di wilayah Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) dengan sentra koperasi di Dusun Batu Rawan (Sekulat) Kecamtan Selimbau, Asosiasi Periau Muara Belitung (APMB) di desa Sekulat dan Vega Kecamatan Selimbau, Asosiasi Periau Mitra Penepian (APMP) yang berlokasi di Desa Ujung Said dan Desa Penepian Raya, Asosiasi Petikung Bunut singkar di Kecamatan Bunut Hilir dan Kecamatan Embaloh Hilir, Asosiasi Periau Nanga Lauk di Desa Nanga Lauk Kecamatan Embaloh Hilir.
Panen Lestari, Madu Higienis, Hutan Hijau, Rakyat Sejahtera.
Manusia semenjak dari zaman lampau sudah menjaga daerah yang dimilikinya terutama hutan disekitar tempat hidup mereka. Berbagai macam cara dan media untuk menjaga daerah mereka baik melalui aturan, pengetahuan tacit serta melaui hal yang mereka tidak sadari. Cara yang timbul didalam masayarakat sanggup kita sepakati itu yakni kearifan lokal hasi dari cipta, rasa dan karsa dari sebuah komunitas masyarakat yang mengakar.
Sedikit bercerita perihal sebuah kearifan lokal masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yaitu perihal masyarakat yang menjaga daerah hutan milik mereka. Dari sudut pendang yang berawal dengan sebuah ciaran bagus yang dihasil lebah dari nektar sari bunga hutan yaitu madu hutan itulah masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu menyadari betapa pentingnya hutan untuk mereka terutama bagi masyarakat di Semangit, Sekulat, Ujung Said, Penepian, Nanga Bunut dan Nanga Lauk.
Pekerjaan mencari madu hutan ini diawali pada zaman lampau kala pada dikala zaman penembahan atau sanggup dikatakan pada zaman raja-raja. Karena madu yakni masakan khsusus untuk keluarga kerajaan. Pada awalnya hanya untuk dikonsumsi namun usang kelamaan menjadi salah satu sumber untuk mendapat embel-embel rupiah.
Kegiatan mencari madu hutan ini dimulai dikala nelayan mencari lubuk-lubuk ikan dikala isu terkini kemarau di daerah hutan (PERIAU) dan menemukan sebuah pohon yang mempunyai banyak sarang lebah dengan rentang 50 sarang sampai ludang keringh dari 200 sarang lebah. Pohon yang mempunyai sarang sebanyak itu dinamakan dengan "LALAU". Untuk memanen atau orang setempat mengatakannya "PUAR" dilakukan di malam hari dengan melaksanakan pengasapan dengan akar-akar kayu (TEBAOK). Sesaat memanen harus membacakan atau melisankan beberapa mantra atau sair yang mereka namakan "TIMANG" lalau.
Tidak boleh seseorangpun diperkenankan memanen pohon Lalau selain yang orang memilikinya (Orang yang menemukan pohon lalau pertama kali) dan pakar warisnya sehingga timbulah istilah LALAU WARIS. Begitu juga Periau (Kawasan Hutan tempat mencari madu dan ikan) dilarang menebang pohon sembrono alasannya yakni akan mendapat eksekusi yang berat sesuai besarnya kerusakan dan skor dari pohon yang ditebang.
Dari pengalaman melihat lebah bersarang pada dahan pohon timbullah sebuah wangsit untuk menciptakan dahan buatan yang nanti di pasang pohon-pohon biar lebah mau bersarang. Dahan butan tersebut dinamakan "TIKUNG". Tidak tiruana pohon sanggup dijadikan tikung dan hukum usang dari msayarakat disana yakni harus menciptakan dari batang pohon yang telah mati. Pengetahuan tacit yang mereka miliki bisa menciptakan tikung dihinggapi oleh lebah dan mengakibatkan tikung sebagai media untuk menghasilkan madu hutan.
Lebah menghasilkan madu dari nektar bunga hutan yang artinya mereka harus menjaga pohon-pohon yang menghasilkan bunga yang menjadi pakan lebah. Ludang keringh dari 200 macam pohon pakan lebah dan tersebar di banyak sekali daerah hutan, sehingga menebang pohon sembrono atau merusak hutan akan mendapat eksekusi yang berat. Bukan hanya tidak mendapat madu tetapi juga tanggapan kerusakan hutan akan mempengaruhi ekosistem ikan.
Dengan mempunyai 1 tikung berkewajiban untuk menjaga minimal 2 pohon sekitar tempat pemasangan tikung. Saat ini satu orang rata-rata mempunyai 100 buah tikung, bahkan ada satu orang mempunyai 1.500 tikung. Saat memasang dan memelihara bahkan dikala menyelidiki sarang lebah, mereka melaksanakan pemantauan daerah serta menanam pohon di area yang kerapatan pohonnya kurang. Tujuan menanam pohon ini juga dimaksudkan untuk memperkaya jenih pohon pakan lebah biar kedepannya rasa madu yang dihasil ludang keringh bervariasi.
Saat ini para pemasang tikung (Petikung) atau juga disebut "Peiau" (mengikuti penamaan wilayah) bergabung menjadi sebuah asosiasi periau yang berbentuk koperasi dengan menerapkan strandar internal masing-masing yang di sebut internal control system (ICS) yang mengharuskan panen madu secara lestari yaitu melaksanakan panen tikung pada siang hari dan dikala cuaca cerah, hanya mengambil bab kepala sarang yang diberisi madu biar anak lebah sanggup hidup dan menambah koloni lebah baru, melaksanakan pengsapan dan memakai pelindung serta alat-alat yang steril.
Dengan adanya ASOSIASI PERIAU menambah kokohnya penjagaan daerah hutan di Kabupaten Kapuas hulu terutam di wilayah Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) dengan sentra koperasi di Dusun Batu Rawan (Sekulat) Kecamtan Selimbau, Asosiasi Periau Muara Belitung (APMB) di desa Sekulat dan Vega Kecamatan Selimbau, Asosiasi Periau Mitra Penepian (APMP) yang berlokasi di Desa Ujung Said dan Desa Penepian Raya, Asosiasi Petikung Bunut singkar di Kecamatan Bunut Hilir dan Kecamatan Embaloh Hilir, Asosiasi Periau Nanga Lauk di Desa Nanga Lauk Kecamatan Embaloh Hilir.
Panen Lestari, Madu Higienis, Hutan Hijau, Rakyat Sejahtera.
Advertisement